Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Membuka Jerat Comfort Zone dan Terus Bergerak Maju

Membuka Jerat Comfort Zone dan Terus Bergerak Maju

Besar Jadi Jongos vs Kecil Jadi Bos

Kehebohan itu disulut oleh kenaikan grade seorang teman diakhir tahun lalu. Beberapa rekan yang kebanyakan lebih lama bekerja disana, berkicau marah. Pun tidak sedikit yang terbakar emosinya. Sebagian besar menyoal justifikasi dan kontribusi. 

Parameternya apa?! Maklumlah, dibandingkan Dia, hampir semuanya merasa lebih banyak berbuat sesuatu. Namun jangankan promosi, apresiasi saja tidak, sepatah kata terima kasih sekalipun. Terakhir, mereka malah dijuluki “Cry Baby” alias cengeng. Begitulah dunia, terkadang tidak adil dan cenderung kejam.

Kemudian saya menceritakan garis besarnya kepada seorang sahabat. Sahabat saya ini adalah mantan pegawai yang sudah muak bin bosan menjadi pegawai kantoran. Mendengar kata-kata pegawai saja dia ‘Eneg’. 

Dalam beberapa kesempatan pertemuan itu, dia sangat ngotot dengan entrepreneurship. Katanya, daripada "besar jadi Jongos, mending kecil jadi Bos." Bisa memerintah dan nggak bisa diperintah. Bisa datang semaunya dan nggak takut telat. Itulah seorang entrepreneur.

Saat saya mulai bercerita dan belum genap dua paragraf saya bercerita, dia langsung nyolot. “Eh, Bos..! Begitulah karyawan…., Nggak usah banyak protes! Udah syukur perusahan nggak telat bayar gaji Ente”. Begitu ujarnya sambil ketawa. Dari mimik ketawanya, terlihat seperti menghina. Saya yang masih aktif sebagai pegawai, tercengang nggak terima.

Berikutnya, kami pun larut dalam perdebatan serius. Amat sangat sengit. Dikotomi pegawai dengan pengusaha menjadi saling-silang topik perdebatan kami. Kami yang sama-sama keras kepala, otomatis keukeuh dengan pendapat masing-masing. 

Saya misalnya, beranggapan bahwa seorang pengusaha besar pun tidak bisa datang seenak perutnya atau main perintah tanpa juntrungan. Seorang pengusaha itu justru tidak lagi bebas akan waktunya. Karena dia telat sedikit saja, bisnis milyaran rupiah bisa saja melayang. Time is money …

Dan begitulah, perdebatan serius itu berakhir dengan saling diam karena tidak menemukan kesepahaman tentang karyawan dan pengusaha. Saya menyoroti dari kacamata karyawan, sementara dia dari kacamata pengusaha. 

Padahal jika ditelaah kembali, kami seperti melihat sebuah benda yang sama sekali berbeda. Persoalan yang berawal dari kisah promosi salah satu rekan saya di kantor melenceng ke dikotomi karyawan vs pengusaha. Ga nyambung …

Tidak Selalu Berbanding Lurus

Beberapa hari setelah kejadian itu, kesibukan yang menghanyutkan kami berdua mengubah diam menjadi bisu. Saya dan Dia, terjebak dalam diam yang cukup lama. Soal apakah penyebabnya adalah perdebatan itu ataukah ada penyebab yang lain, sejujurnya saya tidak pernah tahu.

Hanya saja, walau kami berseberangan pendapat, namun harus saya akui banyak hal yang dia ucapkan benar. Karyawan–dimanapun dia berada, sehebat apapun kemampuannya, dalam posisi apapun dia, tetaplah bernama karyawan. 

Dia mesti tunduk dan patuh kepada Majikannya. Dan jika si–karyawan tidak suka dengan kondisi itu, dia hanya memiliki dua pilihan, "Stay or leave." Percaya atau tidak, Itulah yang jadi masalah utamanya tetap bekerja atau berhenti menjadi karyawan. Beranikah kita?

Usaha itu tidaklah selalu berbanding lurus dengan hasilnya. Sangat banyak kejadian, hasilnya justru berbanding terbalik.

Banyak diantara kita, sering marah-marah saat semua usaha dan jerih payah kita tidak dihargai. Misalnya saat kita bersusah payah hingga menangis darah tetapi atasan kitalah yang mengambil bonus mobilnya. 

Sangat sering kita kecewa berat, ketika mengetahui orang lain yang pas kerja hanya jalan-jalan dan nanya-nanya doang dengan mudah naik grade. Sementara kita yang berjibaku dengan kerasnya proyek besar hanya mendapat aplaus dan ucapan “good job”.

Apa mau dikata, begitulah nasib karyawan. Harus kita terima bahwa itulah preview kehidupan. Lingkungan kerja saya sebelumnya pun juga menghadirkan situasi yang nyaris serupa. Beberapa karyawan yang sudah bertahun-tahun kerja ternyata karirnya tidak sebagus dan secemerlang karyawan yang baru masuk. 

Reaksinya pasti, beberapa dari mereka langsung mengadili, sebagian hanya diam, dan sebagian kecil yang lain galau. Sungguh naif karena sebenarnya itu adalah pilihan.

Satu hal yang harus kita tahu, bahwa sebagai karyawan, usaha itu tidaklah selalu berbanding lurus dengan hasilnya. Sangat banyak kejadian, hasilnya justru berbanding terbalik. Nggak jarang juga orang lain yang nggak ngapa-ngapain justru yang menikmati hasil jerih payah kita. 

Dan jika itu memang terjadi, maka pada saat itulah kita belajar ilmu ikhlas (menyitir ucapan teman saat hendak berpisah). Satu-satunya pelipur lara yang bisa saya berikan adalah “Kita sedang belajar ikhlas”.

Comfort Zone is a Dead Zone

Banyak sekali orang yang stuck di dalam karirnya. Penyebabnya pun bermacam - macam. Biasanya mereka berharap mendapatkan suasana sekolahan. Setiap tahun naik kelas tanpa harus berganti teman dan juga lingkungan. Tetap di sekolahan yang sama. 

Jika beruntung, gurunya ya tetap itu-itu saja. Apes-apesnya dapatlah satu dua guru killer. Lebih enak lagi, jika tergabung dalam geng beken dan geng keren. Hidup terasa di surga.

Dalam lingkungan kerja kurang lebihnya juga seperti itu. Banyak karyawan yang berharap satu dua tahun bekerja langsung naik pangkat. Satu dua project tuntas otomatis naik gaji. Sebisa mungkin bosnya adalah orang yang sama dan disukai. 

Ketika ada orang baru masuk, lebih muda dan lebih cepat kenaikan pangkatnya biasanya langsung nyolot. Ironisnya, jarang sekali dari mereka yang melihat usaha si orang baru tersebut. Mereka tidak tahu dan tidak mau tahu perjuangan yang dialami karyawan itu hingga berada pada posisinya sekarang.

Memang–dalam beberapa kasus, promosi yang dilakukan terhadap karyawan baru perlu dipertanyakan. Setidaknya kompetensi mereka layak diberikan tanda-tanya besar. Contoh kasus adalah rekan saya yang cuman bisa jalan-jalan dan nanya-nanya doank tapi dengan mudah naik grade. 

Namun, tentunya itu tidak bisa digeneralisasikan. Banyak sekali anak muda yang hebat. Kompetensi mereka pun cukup spektakuler, dahsyat dan luar biasa.

Jika masa kerja, tua muda, dan jam terbang menangani project tidak bisa dijadikan tolak ukur stuck atau tidaknya karir seseorang, lalu apa masalahnya? Masalahnya adalah hampir sebagian besar dari mereka takut untuk keluar dari Zona Kenyamanan atau "Comfort Zone" mereka.

Zona nyaman adalah aktivitas mental dimana seseorang menjaga dirinya dari rasa cemas dengan menggunakan perilaku-perilaku untuk menciptakan performa yang stabil, dan biasanya tidak ada keinginan untuk mengambil resiko (Alasdair White – 2008). Zona nyaman itu adalah fatamorgana. Tenang tapi menghanyutkan. Kelihatannya baik namun berbahaya.

Seseorang yang terjebak dalam zona nyaman mirip sekali dengan seekor katak yang mati direbus dalam kuali. Seekor katak tidak pernah menyadari bahwa ia sedang direbus dalam sebuah kuali karena suhu tubuhnya bersifat selalu mengikuti temperatur lingkungan. 

Jika dimasukkan kedalam sepanci air dingin, suhu tubuhnya akan menyesuaikan. Jika air tersebut kemudian dipanaskan, suhu tubuhnya pun akan terus menyesuaikan. Si Katak tidak pernah menyadari kalau air tersebut memanas. 

Ketika air panas tersebut sudah menemukan titik didihnya, si katak pun mati. Ironisnya, si katak sangat menikmati prosesi pembunuhan dirinya.

Begitupun dengan manusia jika terus menerus berada di zona nyaman. Manusia tidak akan mempersepsikan bahwa berada di zona nyaman itu berbahaya. Padahal jika berada terus menerus di dalamnya, manusia tidak akan berkembang. Zona nyaman ini sulit diukur karena zona nyaman setiap orang itu berbeda. 

Dalam kasus diatas, karyawan tersebut tidak mau keluar dari zona nyaman-nya karena mereka takut untuk mengalami kegagalan, sehingga memilih untuk tetap berada di dalam zona dan tidak beranjak kemana-mana.

Push Your Comfort Zone

Seberapa besarkah cinta kita kepada pekerjaan kita sekarang? Atau jangan-jangan kita tidak mencintai sama sekali pekerjaan kita. Atau mungkin sebaliknya. Kita sudah merasa sangat nyaman hingga enggan berpindah dan mencari sesuatu yang baru diluar. 

Jika memang begitu, berarti kita belum menemukan passion kita atau kita sedang direbus dalam kuali. Mari kita simak bersama puisi berikut:

Nasihat Imam Syafii (Merantau)

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa

Jika di dalam hutan

Author : Imam Syafii

(Dikutip dari novel Negeri 5 Menara. By: Ahmad Fuadi)

Sahabat, kita sering berjumpa dengan banyak orang yang terikat pada sebuah sekuel aktivitas yang itu-itu saja. Sekuel tersebut adalah aktivitas yang mau tidak mau harus mereka lakukan demi alasan ekonomi. 

Mereka “terjebak”. Mereka mencoba bertahan hidup dan menjalani rutinitas yang sebenarnya membuat mereka tertekan. Kondisi tersebut tak jarang mematikan ide dan kreatifitas hingga orang tersebut gagal memaksimalkan diri dan potensi yang dimilikinya. Ujung - ujungnya, karirnya pun stuck dan berhenti.

Dalam puisinya, Imam Syafii mengingatkan kita untuk membuka jeratan comfort zone dengan cara selalu bergerak dan berusaha maju. Dia mengerlingkan sesuatu kepada kita agar merantau dan melompat lebih tinggi. 

Tujuannya satu, mencoba sesuatu yang benar-benar baru. "Out of The Box" alias "Extra Ordinary." Selama kita berdiam diri, selama itu pula kita akan stuck dan berhenti.

Terkait dengan hal ini, seorang teman pernah menuliskan dalam blognya berjudul “Hiu Kecil Dalam Kehidupan” yang berkisah tentang seorang nelayan yang menaruh hiu kecil dalam kolam buatan berisi ikan salmon agar ikan salmon tersebut tetap bertahan hidup ketika dibawa dari pantai menuju daratan. 

Hasilnya adalah, jumlah ikan salmon yang mati setelah diletakkan hiu kecil dalam kolam ternyata lebih sedikit ketimbang sebelum diletakkan hiu kecil tersebut. Setelah diselidiki, ternyata ikan salmon tersebut terus menerus bergerak agar tidak dimangsa oleh hiu kecil. 

Kesimpulannya adalah Diam membuat kita mati! Bergerak membuat kita hidup! Jadi tetaplah bergerak dan Push your comfort zone…

Post a Comment for " Membuka Jerat Comfort Zone dan Terus Bergerak Maju"